Menurut kalian, bagimana sih karekteristik pemimpin yang baik ?
Tidak
mudah menjadi pemimpin. Juga tidak mudah
memilih pemimpin. Ini akan dialami oleh
suatu masayarakat yang rusak. Masyarakat
yang para pemimpin dan politisinya
menjadikan Book of The Prince sebagai kitab suci mereka dan Machiavelli
sebagai panutan mereka. Masyarakat yang
memberikan kesempatan pada orang-orang bodoh tampil bicara. Kondisi ini pernah digambarkan Nabi saw.
dalam sabdanya:
سَيَأْتِيْ
عَلىَ النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّعَاتٌ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَ يُكَذَّبُ
فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهاَ
اْلأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيْلَ وَماَ الرُّوَيْبِضَةُ ؟
قاَلَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِيْ اَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan
datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di masa itu para
pendusta dibenarkan omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di masa
itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang terpercaya justru tidak
dipercaya, dan pada masa itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau saw.
apa itu Ruwaibidlah? Rasul menjawab:
Seorang yang bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah rakyat/publik”.
(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Agar kita tidak terjatuh pada kondisi buruk seperti
diperingatkan Nabi saw. di atas, maka perlu dibentuk kesadaran umum (public
awaraness) tentang karakteristik pemimpin yang layak mengurus publik. Tulisan ini mencoba memberikan sumbangsih
pemikiran untuk itu.
Tanggung Jawab Pemimpin
Kepemimpinan
adalah amanat untuk mengurus orang-orang
atau rakyat yang dipimpin. Rasulullah
saw. mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in). Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
وَاْلإِمَامُ الَّذِيْ
عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana
penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang
digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari
dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Rasulullah saw. memberikan penjelasan tentang pemimpin
pengganti beliau (khalifah) dalam mengurus kaum muslimin bakal diminta
pertanggungjawaban di akhirat. Beliau saw. bersabda:
كَانَتْ
بَنُوْإِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ
فَتَكْثُرُ. قَالُوْا : فَمَا
تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ. وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya
oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi
setelahku, (tetapi) nanti akan ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya :Apa yang engkau
perintahkan kepada kami? Beliau
menjawab: Penuhilah baiat yang pertama, lalu yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena
Allah nanti akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang telah
diserahkan kepada mereka mengurusnya”.
(HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah).
Hadits-hadits tersebut di atas
memberikan indikasi bahwa pemimpin yang layak adalah yang punya dimensi
tanggung jawab hingga ke akhirat. Tentu yang dimaksud bukanlah rohaniawan yang
tak cakap mengurus dunia. Juga bukan
pemimpin sekuler yang tak tahu urusan akhirat. Pemimpin sekuler, yang
memisahkkan agama dari urusan dunia atau negara jelas merasa bebas berbuat, karena merasa tidak perlu
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Pertanggungjawaban di dunia itu semu belaka, sebab tergantung banyaknya
suara dukungan. Pemimpin yang pandai
menjaga dukungan mayoritas suara, dia tidak akan pernah ditolak
pertanggungjawabannya.
Jika kita sepakat bahwa pemimpin yang layak memimpin
manusia adalah pemimpin yang punya rasa tanggung jawab dunia akhirat, maka
bagaimana karakteristik pemimpin itu sehingga dia bisa melaksanakan tanggung
jawabnya.
Karakteristik
Pemimpin
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam
kitab Nizhamul Hukm fil Islam memberikan syarat-syarat –dengan argumen
syar’i—yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang khalifah sebagai pemimpin
publik tertinggi negara dalam perspektif Islam sebagai berikut : (1) muslim;
(2) laki-laki; (3) dewasa (baligh); (4) berakal; (5) adil; (6) merdeka; dan (7) mampu melaksanakan amanat Khilafah, yakni
menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Selain syarat sahnya baiat seorang Khalifah
di atas, An Nabhani juga menambahkan syarat tambahan –keutamaan, bukan
keharusan—berupa: (1) mujtahid, yakni seorang yang ahli menggali hukum syar’I
dari sumber-sumber hukum syariah (Al Quran, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan
Qiyas); (2) pemberani; (3) politikus ulung; (4)keturunan Quraisy atau Ali bin
Abi Thalib.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab
Al Afkar as Siyasiyyah menyebut beberapa karakteristik untuk seorang
pemimpin publik sebagai berikut:
Pertama, berkepribadian
kuat. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa
seorang pemimpin harus kuat, tidak lemah.
Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai
Abu Dzar, aku melihat dirimu adalah orang yang lemah. Dan aku mencintaimu
sebagaimana aku mencintai diriku.
Janganlah engkau menjadi amir (pemimpin) dari dua orang. Dan janganlah kkamu mengurus harta anak
yatim” (HR. Imam Muslim).
Abu Dzar
juga menuturkan bahwa dia berkata kepada rasulullah saw.:
“Wahai
Rasulullah, tidakkan engkau mengangkatku (menjadi pejabat)? Kemudian Rasulullah saw. menepuk pundakku,
dan berkata: “Wahai Abu Dzar, kamu adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya
jabatan ini adalah amanah, dan pada hari pembalasan akan menjadi kehinaan dan
sesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai dengan haknya dan
menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya” (HR. Muslim).
Kuat dan
lemah yang dimaksud dalam hadits ini adalah kekuatan kepribadian (syakhshiyyah)
, yakni pola pikir (aqliyyah) dan
pola jiwanya (nafsiyyah).
Oleh karena itu, pola pikir seorang
pemimpin harus menyatu dengan kepemimpinannya.
Dengan itu dia dapat memahami berbagai masalah yang
menjadi tanggung jawabnya. Demikian
juga, pola jiwanya juga harus menyatu dengan kepemimpinannya. Dengan itu dia akan menyadari bahwa dia seorang
pemimpin, sehingga dia dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya
sebagai pemimpin.
Kedua, bertakwa.
Karena kekuatan kepribadian
seorang pemimpin sangat berpengaruh pada kepemimpinannya, maka seorang
pemimpin harus memiliki kualitas yang mampu menjauhkannya dari
pengaruh-pengaruh buruk. Oleh karena
itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat takwa pada dirinya, baik secara
pribadi, maupun dalam hubungannya dengan tugas dan tanggung jawabnya memelihara
urusan rakyat. Diriwayatkan dari
Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, bahwa ia menuturkan:
“Rasulullah
saw. apabila mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan
khusus, maka beliau mewasiatkan takwa kepadanya dan berbuat baik terhadap kaum
muslimin yang bersama dengannya (anak buahnya)” (HR. Muslim).
Seorang pemimpin yang bertakwa akan
senantiasa menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitornya (muraqabah)
dan dia takut kepada-Nya, sehingga dengan demikian dia akan menjauhkan diri
dari sikap sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun sikap abai terhadap
urusan urusan rakyat. Khalifah Umar r.a.,
pemimpin negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia,
Irak, Syam (sekarang : Syria, Yordania, Lebanon, Israel, dan Palestina), serta
Mesir, pernah berkata: “Andaikan ada seekor hewan di Irak kakinya terperosok di jalan, aku takut Allah
akan meminta pertanggungjawabanku kenapa tidak mempersiapkan jalan tersebut
(menjadi jalan yang rata dan bagus)”(lihat Zallum, idem).
Ketiga, belas kasih. Seorang pemimpin harus punya sifat belas
kasih kepada rakyatnya. Ini diwujudkan
secara konkrit dengan sikap lembut dan kebijaksanaannya yang tidak menyulitkan
rakyatnya. Diriwayatkan bahwa istri
Rasulullah saw., Aisyah r.a. pernah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan
pemerintahan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah
dia. Dan siapa saja yang memerintah
umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah
kepadanya”. (HR. Muslim).
Dalam kaitan
ini juga Rasulullah saw. mengajarkan agar pemimpin itu bersikap memberi kabar
yang baik, bukan bersikap menakutkan.
Diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ari r.a. (yang diutus menjadi
Wali/Gubernur di Yaman) bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Gembirakanlah
(rakyat) dan janganlah engkau hardik, dan permudahlah mereka dan jangan engkau
persulit (urusan mereka)” (HR. Bukhari).
Keempat,jujur dan penuh
perhatian. Seorang pemimpin haruslah
jujur dan penuh perhatian dalam mengurus urusan rakyat sehingga rakyat bisa
terpenuhi kebutuhan mereka dan menikmati layanan pemimpinnya. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum
muslimin lalu dia tidak serius mengurusnya, dan tidak memberikan nasihat yang
tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga”. (HR.
Imam Muslim). Dalam hal ini
perhatian pemimpin bukan saja untuk memelihara terpenuhinya kebutuhan fisik
rakyat, tapi juga kebutuhan ideologis, agar mereka tetap di jalur kehidupan
yang mengantarkan kepada jalan menuju keridloan Allah SWT sehingga rakyatnya
sukses dunia akhirat.
Kelima, istiqamah memerintah
dengan syariah. Seorang pemimpin yang
jujur memimpin kaum muslimin akan melaksanakan pemerintahannya berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Diriwayatkan
bahwa ketika Muadz bin Jabal diutus menjadi Wali/Gubernur di Yaman,
Rasulullah saw. menanyainya bagaimana cara dia memerintah. Nabi bertanya kepadanya: “Dengan apa engkau
memutuskan perkara?” Muadz menjawab:
Dengan Kitabullah”. Rasul bertanya:
“Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam Al Quran)?”. Muadz menjawab: “Dengan Sunnah
Rasululllah”. Rasul berkata: ““Dengan
apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam Al Quran maupun As
Sunnah)?”. Muadz menjawab: “Aku akan
berijtihad”. Kemudian Rasulullah saw.
berucap: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi).
Khatimah
Kita berharap lima karakteristik
kepemimpinan di atas menjadi kesadaran dan opini umum masayarakat sehingga aspirasi dan kecenderungan rakyat
adalah memilih pemimpin yang berkarakter seperti itu. Karena rakyat yang muslim beriman kepada
Allah dan rasul-Nya pasti berharap agar para pemimpinnya benar-benar punya
kehendak baik kepada rakyat kaum muslim seperti sifat Rasulullah saw. (lihat
QS. At Taubah 128) dan punya kesiagaan dan kewaspadaan tinggi untuk menjaga
kemaslahatan dan keselamatan rakyat dengan syariah seperti perintah Allah SWT
kepada Rasulullah saw. (lihat QS. AL Maidah 49). Mudah-mudahan dengan dengan munculnya
karakter kepemimpinan seperti itu dalam diri para pemimpin di negeri ini,
krisis yang melanda selama ini cepat di atasi.
Wallahua’lam bishawab!